Kabar terkait adanya mafia dan korupsi di sektor pertambangan mencuat usai mantan anggota Polres Samarinda Ismail Bolong memberikan testimoni.
Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) pun mengaku sudah melaporkan sejumlah korupsi tambang ke Menko Polhukam Mahfud Md dan meminta untuk segera dilaporkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk diusut.
“MAKI menyampaikan laporan dugaan korupsi PNBP dan/atau manipulasi pengapalan dan penjualan ilegal batu bara untuk ekspor oleh sebuah perusahaan tambang batu bara di Kalimantan Timur yang diduga merugikan negara sedikitnya kurang lebih sebesar Rp 9,3 triliun,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada wartawan, Senin (7/11).
“MAKI akan meminta Menko Polhukam melaporkan kasus ini kepada Presiden Jokowi serta menyerahkannya kepada aparat penegak hukum untuk segera diusut,” lanjut Boyamin.
Boyamin berharap kasus mafia tambang ini diusut. Selain di Kalimantan, Boyamin mengatakan ada sejumlah kasus mafia tambang di Sulawesi dan Bangka Belitung.
“MAKI meminta Menko Polhukam mengkoordinasikan penegakan hukum atas dugaan tambang batu bara ilegal yang marak terjadi di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, tambang ilegal nikel di Sulawesi Tengah, dan tambang ilegal timah di Bangka Belitung,” tegas Boyamin.
MAKI membeberkan sejumlah temuan pelanggaran usaha terkait batu bara yang merugikan negara. Salah satunya terdapat penjualan ekspor batu bara yang transaksinya tidak dilaporkan.
“Temuan MAKI pada 2021, perusahaan tambang batu bara tersebut mendapatkan izin penambangan dalam setahun dalam bentuk persetujuan atas rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB) total sebanyak 14.520.602 MT (ton metrik). Akan tetapi realisasi penjualan pada 2021 diduga mencapai sebanyak 22.739.419 MT,” tutur Boyamin.
Boyamin menjelaskan, hal itu didasarkan data pengapalan di pelabuhan/KSOP yang berkesesuaian dengan jumlah (quantity) pada aplikasi Sistem Informasi PNBP Online (SIMPONI) di Ditjen Minerba. Dia mengatakan ada penjualan ekspor yang tak dilaporkan.
“Terdapat penjualan ekspor batu bara yang transaksinya tidak dilaporkan (un-reporting) sebanyak 8.218.817 MT, dengan modus operandi seolah-olah jenis pelaporan transaksi dalam sistem Moms masih dalam status provisional dan/atau belum final,” ujarnya.
“Diduga perusahaan tambang batu bara tersebut bersekongkol dengan DA, penanggung jawab pengelola admin Moms dan IT pada Ditjen Minerba untuk menghapus dan/atau mengubah dan/atau memakai kembali RKAB, LHV, NTPN, dan COA yang terdapat dalam modul verifikasi penjualan (MVP) milik Ditjen Minerba yang sudah terpakai dengan jumlah sesuai yang dikehendaki,” lanjutnya.
Boyamin menuturkan temuan lain yang didapat MAKI adalah adanya penyimpangan pada domestic market obligation (DMO). Dia meminta aparat penegak hukum mengusut dugaan penyimpangan DMO.
“Pada cluster domestic market obligation (DMO), MAKI menemukan pula dugaan penyimpangan. Berdasarkan data pada Ditjen Minerba, perusahaan tambang batu bara tersebut mendalilkan, pada 2021 telah memenuhi kewajiban DMO sebanyak 4.095.243 metric ton. Padahal untuk 2021, PLN hanya menerima DMO dari perusahaan tambang tersebut sebanyak 1.398.318 metric ton. Perlu dilakukan penyelidikan yang mendalam oleh aparat penegak hukum atas kemungkinan terjadinya dugaan penyimpangan kewajiban DMO sebanyak 2.696.925 metric ton yang dialibikan disetorkan ke industri-industri dalam negeri,” beber Boyamin.
Menurutnya, modus dugaan manipulasi DMO ini sama dengan kasus dugaan korupsi ekspor minyak sawit (CPO) yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung).