China tetap bersikeras untuk menyatukan kembali Taiwan sebagai wilayahnya. Bahkan, negeri tirai bambu itu berjanji melakukannya dengan jalan militer jika diperlukan.
Menurut penelitian Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) yang berbasis di Amerika Serikat (AS) yang dirilis Selasa (22/11) menyebutkan bahwa akan ada konsekuensi kerugian bagi China bila tetap nekat mencaplok Taiwan, meski dengan kekuatan militer sekalipun.
Menurut Analis CSIS, Jude Blanchette dan Gerard DiPippo, China hanya akan mendapatkan “Pyrrhic victory”, yaitu kemenangan yang menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi pemenangnya sehingga sama saja dengan kekalahan.
“Keberhasilan apa pun yang mungkin dicapai China dalam mencaplok Taiwan dengan paksa akan menjadi ‘ Pyrrhic victory’, karena posisi politik, ekonomi, dan diplomatiknya kemungkinan akan lebih buruk dari sebelumnya,” tulis Blanchette dan DiPippo, sebagaimana dilansir Taipei Times.
“China akan mendapatkan Taiwan, tetapi mengorbankan ambisinya yang lebih besar untuk menjadi negara adidaya global dan komprehensif,” tulis mereka.
Laporan itu mengatakan, persiapan militer, ekonomi, dan propaganda Beijing untuk perang sulit disembunyikan, dan Washington bersama sekutunya kemungkinan akan melakukan tindakan untuk melawan invasi melalui sanksi dan ancaman kekuatan militer.
“Sekutu inti AS, termasuk Australia, Jepang, dan Inggris, kemungkinan akan mengoordinasikan tanggapan untuk menghalangi China,” katanya.
“Jika konflik dimulai, kerusakan pada ekonomi global akan sangat menghancurkan, karena pengiriman komersial akan runtuh, rantai pasokan akan terganggu dan pasar keuangan akan panik hingga berpotensi melebihi resesi tahun 2008,” lanjutnya.
Blanchette dan DiPippo kemudian mencatat bahwa Beijing akan lebih terpukul oleh krisis karena langkah-langkah yang harus diambil untuk mempertahankan upaya perang, kemungkinan termasuk kontrol modal, penjualan aset luar negeri, penjatahan, dan pengerasan pangkalan militer dan pusat populasi di pantai vital ekonominya.
“Dengan asumsi bahwa Taiwan melawan invasi dan AS terlibat secara militer, perang bisa menjadi intens dan berlarut-larut, mengakibatkan kerusakan ekonomi yang luas di China,” tulis keduanya.
Mengutip studi RAND Corp dari 2016, mereka mengatakan, konflik selama setahun antara-AS dan China mungkin akan mengurangi PDB China sebesar 25 hingga 35 persen, sementara PDB AS akan turun 5 hingga 10 persen.
“Perdagangan maritim dan pengangkutan udara di dalam dan sekitar zona konflik yang penting bagi China akan terganggu, karena enam pelabuhan terbesar China berada di dekat Taiwan dan kemungkinan akan terpengaruh,” kata mereka.
Laporan CSIS juga meramalkan bahwa sejumlah besar perusahaan multinasional yang melakukan bisnis di China kemungkinan besar akan melarikan diri dari negara itu untuk menghindari risiko bagi karyawan dan kepentingan bisnis yang berasal dari perang. Sementara, eksportir dan perusahaan sumber suku cadang mungkin mengalihkan operasi ke wilayah yang lebih aman.
“Pelarian modal dari China akan terjadi karena investor dan perusahaan berlomba untuk menghindari pengaruh sanksi Barat,” katanya, menambahkan bahwa penjualan saham dan kepemilikan China akan menyebabkan yuan anjlok.
Selain larinya para pemodal, akan ada kemungkinan sanksi berat, dengan asumsi pasukan AS terlibat langsung, karena Washington dan publik AS tidak akan mentolerir mitra yang terus berdagang atau berinvestasi di China, bahkan jika korban militer AS rendah.
“Koalisi sanksi Barat dapat bersatu dengan cepat, seperti yang terjadi setelah invasi Rusia ke Ukraina, sebagian karena pelajaran yang dipetik dan mekanisme koordinasi yang dibentuk sebagai tanggapan atas sanksi terhadap Rusia,” katanya.
Laporan itu juga menyebutkan bahkan jika Beijing mencegah perlawanan AS, hubungannya dengan ekonomi maju lainnya akan memburuk secara signifikan, yang dapat menyebabkan kontrol ekspor dan sanksi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
“China akan lebih menderita akibat hambatan perdagangan karena ekonomi G7 secara kolektif 65 persen lebih besar dari China, dan Beijing memiliki sedikit harapan untuk mengatasi ketergantungan utamanya pada teknologi, komoditas, dan mata uang AS dalam jangka menengah,” katanya.
Dikatakan juga, negara-negara Asia di pinggiran China akan didorong ke dalam pelukan AS jika Washington melakukan kinerja militer yang kredibel, atau jika gagal, mereka akan didorong untuk meningkatkan kekuatan militer dan menciptakan program nuklir.
“Kesimpulan yang dicapai sangat jelas, China akan menimbulkan bencana jika meluncurkan invasi melintasi Selat Taiwan,” kata laporan itu.
“Tantangan strategis utama bagi AS tetap memastikan Beijing tidak pernah secara aktif mempertimbangkan untuk menyerang Taiwan,” tutup laporan itu.