Para Gubernur disarankan untuk mengikuti Peraturan Menteri Ketenagakerjaan soal kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 10 persen agar tak terjadi demo besar-besaran dan berkepanjangan dari organisasi buruh.
Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia’s Democratic Policy, Satyo Purwanto, mengatakan, sejak awal gerakan buruh berkeyakinan bahwa UU Cipta Kerja telah melanggar konstitusi dan akhirnya terbukti setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan inkonstitusional.
“Akibat putusan inkonstitusional itu, maka penyelenggara negara harus menangguhkan semua tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas termasuk tentunya terkait penentuan UMP/UMK,” kata pria yang karib disapa Komeng ini, Kamis (24/11).
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pun, menurut Komeng, telah berupaya tunduk pada putusan MK tersebut. Sehingga, mengambil kebijakan strategis tanpa mendasari kepada UU Cipta Kerja dan turunannya, yaitu PP 36/2021 tentang Pengupahan.
Aktivis pergerakan ’98 ini menjelaskan, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI 18/2022 tentang Penetapan upah minimum tahun 2023 ini sudah benar.
Dalam pandangan Komeng, Permen tersebut merupakan keberhasilan perjuangan buruh Indonesia dengan melakukan gerakan penolakan melalui aksi-aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja sejak diketok oleh DPR.
“Termasuk di dalamnya tentang penentuan UMP/UMK dengan menggunakan PP 36/2021 tentang Pengupahan,” tutur Komeng.
Dengan demikian, agar buruh khususnya dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengurungkan niatnya untuk menggelar aksi unjuk rasa hingga akhir tahun, para Gubernur diminta untuk menaikan UMP tahun 2023 sebesar 10 persen.
“Permenaker tersebut menetapkan kenaikan UMP maksimal adalah 10 persen, sehingga para Gubernur agar tetap menetapkan upah berdasarkan kepada Permenaker 18/2022,” tandas Komeng.