Jumat, 29 Maret 2024
spot_img

Beginilah Jadinya Penguasa Dagang Kekuasaan, Negara Semakin Tak Karuan

BERITA TERKAIT

SAYA pikir, semakin ke sini semakin tak karuan negara ini dikelola. Semakin mengarah feodal, semakin mirip kerajaan.

Kita terlalu sibuk mengurusi sosok raja, namun melupakan hal sederhana semacam apa hubungannya dahi berkerut dan rambut putih dengan pemimpin yang memikirkan rakyat!

Silakan Anda putar rekaman persidangan di Pengadilan Tipikor seluruh Indonesia dan hitung sendiri berapa banyak manusia dahi berkerut yang putih rambutnya, tetapi korupsi duit rakyat bejibun banyaknya.

Saya pun iseng mengamati dahi dan rambut Wali Kota Solo, si anak sulung itu, dan tak menemui ada banyak kerutan atau rambut memutih. Apakah dengan demikian bisa dikatakan si Wali Kota abaikan rakyat dalam pikirannya? Kan, tidak begitu juga!

Poinnya adalah jangan terlalu pedulikan dagangan kecap ala pengusaha mebel. Sejarah membuktikan rumusnya adalah: A=(-A). Sen ke kiri, beloknya kanan. Sudah salah sen dan belok pun masih dibela mati-matian dengan alasan kendati salah hatinya baik.

Sebaiknya kita kembali pada hal simpel, yaitu, tuntutan kepada pemimpin (kepala negara dan kepala pemerintahan), yang sesuai dengan garis pengertian negarawan dalam Kamus Bahasa Indonesia: pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.

Saya pikir, dari sekian banyak status yang saya tulis, saya sah-sah saja berkesimpulan pemimpin ini tidak taat asas, tidak berpandangan ke depan, pun mengelola negara nir-kebijaksanaan, nir-wibawa pula!

***

Saya ceritakan sosok di atas tujuannya supaya kita mendapatkan latar apa yang tengah terjadi sekarang. Pikiran waras dan nalar sehat publik sedang dan terus-terusan diacak-acak oleh kekuasaan. Jika nalar/pikiran rusak, apa lagi yang mau diharapkan dari suatu bangsa?

Pikirkan apa yang terjadi dengan GOTO yang sahamnya terperosok dan membuat kerugian (unrealized) Telkom per Q3 2022 mencapai Rp3 triliun lebih itu. Dibilang bahwa investasi Rp6,4 triliun Telkomsel di GOTO adalah investasi jangka panjang, tidak hanya memikirkan arus kas tetapi benefit berupa sinergi strategis dua pihak. Telkomsel mendapatkan pelanggan baru dari driver/mitra/jaringan GOTO.

Pakai nalar. Keuntungan perusahaan hanya ada dua: 1) dividen; 2) capital gain. Dividen GOTO nyaris mustahil karena kerugian akumulatifnya saja sudah hampir tembus Rp100 triliun. Apanya yang mau dibagi kalau kuenya minus!. Capital gain (keuntungan karena selisih harga beli dan harga jual) juga zonk. Telkomsel beli Rp260, sekarang hampir Rp100.

Benefit apa yang didapat? Tanpa harus setor Rp6,4 triliun ke GOTO, kerjaan Telkomsel memang jualan pulsa dkk. Argumen mendapatkan pelanggan baru tidak masuk akal. Jika Telkomsel kasih investasi Rp6,4 triliun ke MixChat pun niscaya BUMN itu akan mendapat benefit berupa sinergi pelanggan baru pengguna MixChat.

Saya bilang masalahnya simpel. Pemilik dan pengurus GOTO adalah kakak Menteri BUMN. Itu bedanya dengan MixChat!

Kalau Telkomsel (anak BUMN) kasih duit ke GOTO Rp6,4 triliun, kita perlu curiga dan telusuri bagaimana cara duit itu dikasih. Pertama, Rp2 triliunan diberikan sebagai convertible bond (utang dikonversi saham) tanpa bunga. Kedua, Rp4 triliunan diberikan sebagai tambahan investasi pada harga yang sudah di-mark up.

Kental dugaan konflik kepentingan di situ dan Presiden Jokowi tidak peduli! Dia malah angkat Menteri BUMN jadi ketua panitia nikahan si bungsu, yang artinya dia mau kasih pesan bahwa si menteri dimaksud adalah keluarga dekat, ring 1, calon ketua umum PSSI, ahli ekonomi global, cawapres kesayangan yang moncer siapa pun capresnya; jangan macam-macam!

***

Pada kasus Kartu Prakerja, sama rusaknya. Saya bilang, terserah mau dibilang itu semi bansos atau apapun, yang jelas ada duit Rp1 juta/peserta yang dialokasikan sebagai bantuan biaya pelatihan itu dipakai untuk beli video di platform digital mitra Prakerja (yang di dalamnya ada Tokopedia/GOTO juga). Itu bukan duit tunai buat peserta tapi ditransfer langsung ke rekening perusahaan platform digital. Itu diduga ‘curang’ karena pembelian video Rp1 juta itu dipakai sebagai syarat peserta memperoleh bansos Rp600 ribu/bulan.

Jadi hitung saja. Kalau peserta Prakerja ada 20 juta orang maka Rp20 triliun ditransfer ke rekening perusahaan swasta. Selanjutnya mereka ambil komisi 15% dan sisanya diberikan kepada lembaga pelatihan yang bikin videonya. Itu pun kalau platform digital tidak menyunat lagi bagian lembaga pelatihan. Lagi pula, naif sekali jika kita polos berpikir tidak ada biaya lobi dan komisi makelar kebijakan itu.

Enak, kan? Itulah mengapa Prakerja banyak iklannya, banyak endorsernya—termasuk dari kalangan akademisi dan pejabat. Karena apa? Karena ada duitnya!

Tapi apa yang terjadi dengan Presiden setelah protes bertubi-tubi?

Dia tidak evaluasi akar masalah. Dia hanya ubah Perpres dengan menegaskan aturan bahwa orang yang memalsukan data ketika mendaftar Prakerja ada sanksinya. Dia tak hentikan praktik jual-beli video pakai duit APBN menggunakan tangan peserta Prakerja itu. Dia malah meyakinkan masyarakat bahwa dengan Prakerja akan banyak tercipta barista dan harga video pelatihan relatif murah—tonton saja di “Mata Najwa”.

Saya mau ge-er, perubahan aturan itu mengarah ke saya karena saya melakukan investigasi awal dengan ikut mendaftar Prakerja dan diterima, padahal saya berstatus direksi dan komisaris beberapa perusahaan. Itu makanya saya tahu jeroan program itu. Tapi tak sedikit pun saya memalsu data/memberi keterangan yang tidak benar ketika mendaftar.

Cukup sekian dulu dan salam.

Oleh: Agustinus Edy Kristiyanto, Jurnalis Investigasi dan Founder Gresnews.com

spot_imgspot_img
spot_img

Hot Topics

Related Articles