Konsekuensi terhadap para pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi masih rendah. Hal itulah yang membuat para penyelenggara negara merasa nyaman melakukan rasuah.
“Saya melihat risiko diketahuinya atau risiko ditangkapnya koruptor itu rendah, ini yang sebabkan para penyelenggara, pejabat itu juga masih merasa nyaman untuk melakukan tindakan-tindakan koruptif,” ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Puncak Peringatan Hakordia Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (13/12).
Alex menyebut para pejabat merasa tindakan korupsi bisa membuat mereka mendapat penghasilan tinggi hanya dalam waktu singkat.
Selain itu, Alex juga menyebut koruptor yang tertangkap karena perkara korupsi itu hanya apes, bukan suatu kejadian yang luar biasa. Sementara mereka yang tak tertangkap, merasa bergerak lebih senyap.
“Saya kok masih merasa, orang yang kemudian tertangkap tangan atau berperkara terhadap perkara korupsi, itu apes. Bukan kejadian yang luar biasa,” ujarnya.
“Apes saja saya pak Alex, loh kenapa? Sebetulnya yang lain kelakuannya sama, hanya mereka lebih rapi dalam melakukan tindakan dan menyembunyikan kekayaannya” kata Alex menirukan percakapan dengan pejabat yang tertangkap.
Lebih lanjut, Alex mengakui pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum optimal berkaca dari Indeks Persepsi Korupsi beberapa tahun terakhir.
“IPK Indonesia selama 5 tahun terakhir berkutat di angka 37-38, pernah di angka 40, turun lagi 38. Kalau itu kita jadikan tolok ukur keberhasilan pemberantasan korupsi, ya memang belum menunjukkan hasil yang menggembirakan,” kata Alex.
Menurut Alex, hasil audit pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tak mampu mengungkap perilaku koruptif, tidak terkecuali audit reguler yang dilakukan di seluruh Pemerintahan Daerah maupun Instansi Pusat.
“Itu belum banyak mengungkap perkara korupsi yang bisa kita tindak. Dari kegiatan pengawasan di inspektorat setiap kementerian, lembaga tidak banyak perkara korupsi, atau ada penyimpangan,” ujarnya.