Kebijakan pemerintah untuk memberikan subsidi bagi pembeli mobil listrik dinilai tidak tepat. Sebab, pembeli mobil listrik adalah masyarakat kelas menengah atas.
“Kita tahu bahwa yang bisa membeli kendaraan listrik itu harusnya golongan mampu. Saya melihat saatnya belum pas kalau kita ingin memberikan subsidi untuk mobil listrik. Bisa saja nanti,” kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam diskusi Pojok Energi: Insentif Jumbo untuk Kendaraan Listrik, Senin (19/12).
Fabby juga menilai kebijakan subsidi mobil listrik juga tidak tepat karena anggaran pemerintah terbatas.
Menurutnya, jika pemerintah ingin memberikan subsidi, akan lebih baik diberikan untuk motor. Pasalnya motor tidak hanya sebagai sarana transportasi tetapi juga menjadi salah satu sumber mata pencaharian terutama di daerah urban.
Selain itu populasi motor juga saat ini besar hingga mencapai 120 juta unit dan sasaran penggunanya adalah masyarakat kelas bawah.
“Pemberian insentif motor yang jumlahnya banyak dan sasarannya menengah ke bawah, masyarakat menggunakannya untuk produktif itu lebih pas,” ujarnya.
Kendati demikian, Fabby tak menampik jika kebijakan itu dilakukan demi menekan subsidi dan impor bahan bakar minyak (BBM) serta mengurangi polusi. Selain itu, subsidi kendaraan listrik juga bisa mengembangkan pasar kendaraan listrik.
“Saya melihat apa yang dilakukan pemerintah sekarang sebenarnya ingin membangun demand-nya, sehingga kalau industrinya (kendaraan listrik) jadi, ada pasarnya,” ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah berencana memberikan subsidi sebesar Rp80 juta untuk setiap pembelian satu unit mobil listrik. Pemberian subsidi ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan kendaraan elektrifikasi di Indonesia.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang mengatakan saat ini pemerintah masih dalam tahap finalisasi, namun ia mengungkapkan pemberian subsidi diperkirakan sebesar Rp80 juta untuk mobil listrik, Rp40 juta untuk mobil hybrid, Rp8 juta untuk motor listrik, dan Rp5 juta untuk motor konversi.