Sejumlah kebijakan subsidi yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai tidak tepat sasaran. Bahkan, program yang dibuat mantan Gubernur DKI Jakarta itu hanya menguntungkan segelintir pejabat.
Ekonom Senior INDEF Faisal Basri menyoroti wacana subsidi pembelian kendaraan listrik, tarif KRL, hingga pembelian LPG yang harus menyertakan KTP agar subsidi tepat sasaran.
Terkait kendaraan listrik misalnya, Faisal menyebut, hal itu kurang tepat dan sarat konflik kepentingan para pejabat. Pasalnya, banyak pejabat di lingkaran Jokowi yang bermain di bisnis kendaraan listrik.
Mereka salah satunya adalah Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan. Moeldoko diketahui merupakan pendiri dari PT Mobil Anak Bangsa (MAB). Tak hanya dikenal sebagai perusahaan penghasil bus listrik, MAB terendus sudah mulai mengembangkan motor listrik yang bisa bersaing dengan produsen lokal lainnya seperti Gesits.
Moeldoko menunjukkan motor listrik MAB melalui akun media sosialnya. Dalam postingan berbentuk video itu Moeldoko memperlihatkan motor berkelir hijau bertuliskan ‘ML-01’. Motor ini juga terlihat menggunakan emblem bertuliskan Electro.
Selain itu ada juga Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan yang punya bisnis kendaraan listrik melalui PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA). Perusahaan itu diketahui sempat berencana membangun sebuah perusahaan kendaraan listrik.
“Karena pemainnya itu Moeldoko, Luhut Panjaitan. Di situ ada konflik kepentingannya,” tegas Faisal Basri dikutip dari CNN Indonesia.
Terlebih lagi, sambung Faisal, dana subsidi yang digelontorkan untuk kendaraan listrik cukup besar. Untuk pembeli mobil listrik yang memiliki pabrik di Indonesia, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita beberapa waktu lalu pernah mengatakan besaran subsidi yang akan diberikan Rp80 juta. Sementara itu untuk pembelian mobil berbasis hybrid akan diberikan subsidi sebesar Rp40 juta.
Untuk pembeli motor listrik baru, besaran subsidi yang akan digelontorkan Rp8 juta. Sementara itu untuk motor konversi, besaran subsidi yang akan digelontorkan mencapai Rp5 juta.
Menurut Faisal, subsidi kendaraan listrik seharusnya tidak perlu diberikan. Sebab, kata Faisal, insentif fiskal untuk kendaraan listrik yang saat ini berlaku seperti pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) hingga keringanan pajak kendaraan bermotor (PKB) sudah cukup menguntungkan pembeli kendaraan listrik.
Ia menyarankan agar alokasi dana triliunan yang akan digunakan untuk subsidi pembelian kendaraan listrik digunakan untuk kepentingan yang lebih produktif. Salah satunya, untuk subsidi transportasi publik atau BLT untuk masyarakat kurang mampu.
Karena, imbuh Faisal, subsidi itu lebih besar dan luas dampaknya dibandingkan jika diberikan ke pembelian kendaraan listrik. Dampak besar dan luas itu kata Faisal bisa dilihat dari kasus Singapura dan Malaysia.
Faisal mencontohkan di Singapura warga dengan pendapatan di bawah 100 dolar Singapura per tahun mendapatkan BLT. Di Malaysia pun demikian, warga dengan pendapatan 30 ribu ringgit dapat BLT.
“BLT itu bagus. Tepat sasaran kalau datanya bagus, yang miskin yang dapat,” tutur Faisal.
Kritik sama juga diarahkan Faisal terhadap rencana Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengotak-ngotakan tarif KRL antara orang kaya dan miskin atas nama menekan subsidi.
Menurutnya, subsidi ongkos transportasi umum itu sudah baik karena keuntungan ekonominya lebih besar.
Ia mencontohkan dengan banyaknya orang naik kendaraan publik, maka ongkos kemacetan dan polusi bisa ditekan. Pasalnya, penggunaan kendaraan pribadi berkurang.
Kalau tarif KRL untuk orang kaya dibedakan, ia mengingatkan ada kemungkinan mereka malah kembali berpindah ke kendaraan pribadi. Akhirnya, subsidi BBM malah yang akan jebol sehingga pengeluaran pemerintah akan lebih besar alih-alih menghemat.
Oleh karena itu, Faisal menilai wacana pembedaan tarif KRL bagi orang kaya dan miskin menyesatkan.
“Nggak tepat terlalu halus, ini menyesatkan,” ujarnya.
Faisal mempertanyakan tolak ukur orang kaya yang dibuat Kemenhub. Menurutnya, hampir semua orang yang naik KRL adalah masyarakat menengah ke bawah.
Apalagi, imbuh Faisal, KRL Jabodetabek adalah kendaraan bagi masyarakat yang berada di daerah penyangga Jakarta untuk bepergian menuju pusat Ibu Kota.
Ia menduga wacana pembedaan tarif KRL ini hanyalah upaya untuk menekan belanja setiap kementerian di APBN. Dalam kasus Kemenhub, anggaran kewajiban pelayanan publik atau public service obligation (PSO) yang ditekan.
Menurutnya, hal tersebut dilakukan semata-mata agar pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara tetap berjalan.
“Jadi demi untuk ibu kota baru jalan terus, demi untuk BUMN disuntik. PT Garuda disuntik, (BUMN) karya disuntik itu kok nggak dipertanyakan? Nah yang bisa dipotong pada umumnya yang kepentingan orang banyak,” ucap Faisal.
Padahal, menurut Faisal, negara yang beradab adalah negara yang menggunakan transportasi publik.
Faisal Basri mempertanyakan apa alasan pemerintah mewajibkan masyarakat yang ingin membeli gas LPG 3 kg untuk membawa KTP.
Menurutnya, jika alasannya agar subsidi tepat sasaran, sekaligus untuk menghemat penggunaan gas, maka cara ini kurang tepat.
Ia menuturkan kalau pemerintah benar-benar serius ingin mengurangi penggunaan gas dan mendorong penggunaan listrik, sebaiknya penggunaan LPG 3 kg sekalian saja dilarang untuk rumah tangga. LPG 3 kg hanya diperuntukkan bagi pedagang keliling saja.
Faisal menjelaskan sebaiknya pemerintah menyubsidi saja kompor listrik bagi rumah tangga, tetapi dengan catatan. Syaratnya, pemerintah membuat sendiri kompor listrik itu dengan watt yang kecil, sehingga biaya listrik masyarakat pun tak tambah terbebani.
Sebaiknya, kata dia, daya kompor listrik itu jangan seperti yang diwacanakan sebelumnya, yakni 1.000 hingga 2.000 watt.
Sebelumnya, pemerintah melalui PT Pertamina (Persero) akan mengharuskan pembeli LPG 3 kg membawa KTP untuk pendataan. Aturan ini dilakukan bertahap di seluruh Indonesia mulai 2023.
KTP pembeli LPG 3 kg diperlukan untuk mensinkronkan dengan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE). Nantinya, data P3KE akan diinput ke dalam website Subsidi Tepat milik Pertamina.
Saat ini pemerintah sudah melakukan uji coba aturan tersebut di sejumlah kota yaitu Tangerang, Semarang, Batam, dan Mataram. Uji coba ini berlangsung untuk pembelian LPG 3 kg di pangkalan resmi Pertamina.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan pemerintah akan akan menguji coba pembatasan pembelian LPG 3 Kg secara nasional mulai 2023.
“Kita pakai data P3KE sekarang. Nah, itu kita coba terapkan, sudah di 5 kabupaten/kota, Cipondoh, Tangerang Selatan, terus ada yang di Semarang, ada lima gitu lah. Tahun depan kita full kan (uji coba pembatasan),” jelas Tutuka di Kompleks DPR RI beberapa waktu lalu.