Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022 yang dirilis Transparency International (TI) pada 31 Januari 2023 menunjukan skornya merah dan anjlok menjadi 34, sama dengan Gambia dan lebih korup dari Timor Leste.
IPK itu membuktikan bahwa laporan Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang mengaitkan keluarga penguasa dan pejabat negara semakin merajalela benar adanya.
“IPK Indonesia Anjlok itu secara langsung maupun tidak langsung bisa saja membenarkan dan memperkuat laporan saya ke KPK tentang dugaan tindak pidana pencucian uang dan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) keluarga Jokowi,” ujar Ubedilah Badrun, Senin (6/2).
Ironisnya, sambung Ubedilah, meningkatnya praktik KKN itu terjadi di saat perekonomian masyarakat tengah terhimpit.
“Saya sedih, di tengah rakyat yang menderita berbagai kesulitan hidup kok tega-teganya politisi dan birokrat KKN sehingga dampaknya IPK Indonesia anjlok,” ujar Ubedilah Badrun.
Menurut Ubedilah, faktor utama penyebab anjloknya IPK Indonesia adalah Political Risk Services. Jika dirinci, setidaknya ada tiga indikator.
“Pertama adalah soal konflik kepentingan yang terjadi antara pejabat atau politisi dengan pelaku bisnis. Parahnya di Indonesia itu terjadi secara vulgar, bahkan dipraktekan di Istana dan anak-anak keluarga Istana, jadi laporan saya tentang KKN Istana benar kan?” tegas Ubedilah Badrun yang juga Direktur Eksekutif Center For Social, Political, Economic and Law Studies (CESPELS).
Kedua, sambung Ubedilah, masih ditemukannya terkait suap atau korupsi di ekspor impor, terutama tata kelola perdagangan.
“Ketiga, itu soal badan audit kita yang dianggap tidak independen. Badan audit atau badan pengawas ini bukan hanya BPK, tapi seluruh badan-badan independen yang berfungsi sebagai check and balances bermasalah. Ini yang membuat korupsi merajalela dan mereka yang berelasi dengan kekuasaan merasa aman-aman saja, apalagi anak penguasa. Ini negara KKN dalam keadaan lampu merah. Ini berbahaya dan sebenarnya sudah tidak layak dipercaya karena amanah Konstitusi dan Tap MPR agar KKN diberantas diabaikan penguasa,” pungkas Ubedilah Badrun.