Selasa, 17 September 2024
spot_img

Singgung Pelanggaran HAM, Pengamat: Jokowi Tidak Memiliki Legitimasi Moral

BERITA TERKAIT

Berbagai kebijakan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) dinilai banyak menimbulkan masalah serius di Indonesia. Termasuk diantaranya pengakuanya tentang pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Pengakuan itu selain dinilai hanya sekedar asesoris politik, pengakuan yang terlambat, lemah dasar hukum, juga menimbulkan masalah serius Indonesia di mata Internasional. Lebih dari itu Jokowi dinilai tidak memiliki legitimasi moral untuk menangani masalah Hak Azasi Manusia (HAM). Hal itu trrungkap dalam duskusi Publik yang dihadiri sejumlah tokoh oposisi di kawasan Menteng Jakarta Pusat.

“Jokowi itu tidak memiliki legitimasi moral untuk menangani pelanggaran HAM berat, sebab ‘tanganya berlumuran darah’, ada darah mahasiswa, pelajar, pemuda, petani, buruh yang meregang nyawa pada periode kekuasaanya hingga saat ini. Ada mahasiswa ditembak mati pada 2019 di Kendari, ada pelajar dan para pemuda ditembak mati di Bawaslu Jakarta, ada 6 pemuda yang ditembak mati pada akhir tahun 2020 di KM 50, ada 135 orang di Kanjuruhan mati, dan lain-lain. Rezim ini menjadi bagian dari pelanggar HAM, tidak memiliki legitimasi moral,” ungkap Sosiolog Politik UNJ Ubedilah Badrun salah satu pembicara dalam diskusi publik yang diselenggarakan KAMI di kawasan Menteng Jakarta Pusat (24/2/23).

Menurut Ubedilah Badrun, sebenarnya permintaan maaf dari Presiden kepada korban tragedi 1965-1966 telah dilakukan lebih dahulu oleh Presiden Gus Dur pada tahun 2000.

“Gus Dur lebih jelas minta maaf, bukan hanya menyampaikan pengakuan. Itu dilakukan hampir 23 tahun lalu, selain itu era Gus Dur juga telah melahirkan UU no 26 tahun 2000 yang lebih jelas Tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia. Nah Jokowi mestinya jalankan Pengadilan Pelanggaran HAM berat itu, bukan sekedar menyampaikan pengakuan lalu memberi santunan, tanpa diputuskan di pengadilan siapa aktor sesungguhnya. Padahal aktor-aktor pelanggaran HAM berat itu ada di lingkaran istana saat ini,” tegas Ubedilah Badrun.

Selain Ubedilah Badrun hadir tokoh oposisi Senior Sri Edhi Swasono, Bachtiar Chamsah, Brigjend TNI (Purn) Hidayat Purnomo, dan Mantan Panglima TNI Jendral TNI (Purn) Gatot Nurmantyo. Terlihat hadir juga Adhi M Massardi, M.Said Didu, Refly Harun, Anton Permana, dll.

Menurut Gatot Nurmantyo penanganan dan upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat sebenarnya telah berlangsung bahkam hak-hak anak keturunan tokoh PKI telah dipulihkan, mereka boleh jadi TNI, ASN, bahkan Anggota DPR dll.

“Sebenarnya hak-hak keturunan tokoh PKI sudah dipulihkan sejak lama diantaranya sejak tahun 2004 ketika ada Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2004 yang membatalkan ketentuan Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu yang melarang orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam G30S/PKI untuk jadi Caleg. Kini setelah putusan MK itu kerurunan PKI sudah ada kok yang jadi anggota DPR. Yang jadi masalah adalah Pengakuan Presiden ini dampaknya luar biasa bagi Indonesia di mata Internasional karena sebagai negara yang banyak melakukan pelanggaran HAM berat yang tidak diselesaikan melalui pengadilan pelanggaran HAM berat. Dunia internasional bisa saja menolak TNI dilibatkan dalam pasukan perdamain PBB karena pelanggar HAM berat,” tegas Gatot Nurmantyo dalam paparanya saat menjawab pertanyaan moderator Hersubeno Arief.

Sementara itu, mantan juru bicara Presiden Gus Dur Adhi M Massardi yang juga hadir dalam Diskusi Publik itu membenarkan pandangan Ubedilah Badrun tentang langkah Gus Dur.

“Iya betul, sebelum Gus Dur minta maaf dihadapan publik, beberapa waktu sebelumnya Gus Dur bertemu dengan tokoh dan Novelis Pramudya Anantatoer yang menjadi korban represi rezim karena karya-karya sastranya dituduh kiri. Pertemuan itu dilakukan di Istana. Intinya perbincangan mereka menyimpulkan tidak cukup minta maaf diam-diam kepada korban, perlu diumumkan dihadapan publik, dan Gus Dur lakukan itu. Itu permintaan maaf kultural sampai ke akar rumput korban dan dilakukan sebagai kepala negara. Itu dilakukan Gus Dur tahun 2000,” ungkap Adhi M Massardi.

spot_imgspot_img
spot_img

Hot Topics

Related Articles