MENUJU 25 tahun Reformasi 98, para aktivis lintas daerah, lintas partai, dan lintas profesi pada kumpul di asrama Haji Pondok Gede untuk menjalin silaturahmi dan konsolidasi demokrasi.
Acara Konsolidasi demokrasi aktivis 98 ini, bukan untuk bernostagia mengenang demonstrasi di jalanan untuk menumbangkan Jenderal Besar Soeharto.
Namun hari ini, para aktivis 98 bukan hanya melakukan evaluasi dan kritik kepada rezim pemerintah Jokowi. Tetapi juga, untuk mencari strategi baru untuk membumikan Reformasi ’98.
Dari curhat atau diskusi para aktivis ’98 yang hadir, ada kesepakatan bahwa rezim pemerintah Jokowi semakin jauh dari cita cita reformasi. Hal ini bisa dilihat dari Indek korupsi maupun indeks demokrasi semakin turun. Tetapi aparat rezim Pemerintahan Jokowi santai-santai saja.
Dalam konteks demokrasi, dulu para aktivis ’98 meminta dwi fungsi ABRI dihapus. Tetapi kini, dwi Fungsi ABRI seperti akan dihidupkan kembali. Hal ini bisa dilihat dari rencana Kementerian Pertahanan yang akan membentuk kodam kodam untuk setiap Provinsi untuk meningkatkan pertahanan negara.
Kemudian, selain isu pembentukan kodam.kodam, para aktivis 98 juga menyoroti peran politik militer dan polisi yang selalu mendukung rezim berkuasa daripada membela rakyat.
Soekarno atau Soeharto berkuasa lama, dan panjang, bukan lantaran mereka punya kemampuan mengelola roda pemerintah yang berpihak kepada rakyat. Tetapi, mereka bisa bertahan lama karena selalu didukung oleh kekuatan militer dan polisi.
Maka, seandai hari ini, ada tunda Pemilu, atau terjadi perpanjangan jabatan presiden, bukan karena Jokowi hebat melakukan kebijakan itu, tapi karena dia dapat dukungan dari kekuatan real militer dan polisi.
Apalagi yang namanya polisi, punya otoritas dan kewenanganya sangat luas. Luasannya lautan dan langit, akan lebih luas dan besar otoritas dan kewenangan yang dimiliki polisi setelah korps bhayangkara itu pisah dengan ABRI.
Luas dan besarnya otoritas dan kewenangan polisi ini membuat aparat berbaju coklat sendiri tidak bisa membedakan antara-sektor keamanan dan politik. Sehingga Kasus makar, kasus kasus ITE, dan kasus teorisme sebetulnya bukan kewenangan kepolisian, tapi tetap ‘dimakan” oleh kekuasaan absolut kepolisian.
Jadi polisi hari ini, bisa diperumpamakan seperti aktivis 98 seorang lelaki dan masuk ke toilet perempuan, serta ada polisi yang mengetahui kejadian tersebut. Maka, aktivis 98 tersebut, bisa ditangkap, dan kena pasal makar, bukan pasal kriminal lagi.
Kemudian, diskusi yang kedua para aktivis 98 ini adalah tentang korupsi. Turunnya indek korupsi, dibareng dengan naik kekayaan para pejabat di pemerintahan rezim Jokowi.
Dengan naiknya kekayaan para pejabat ini, muncul orang orang kaya baru. Tapi sayang lahirnya Orang orang kaya baru ini, bukan karena prestasi bisnis atau persaingan bisnis diantara mereka.
Tetapi bisnis mereka tumbuh karena orang tersebut boneka pejabat, atau bisa juga ada kedekatan dengan kekuasaan. Tanpa kedekatan kekuasaan, maka bisnis akan hancur, atau dihancurkan oleh yang punya kekuasaan.
Apalagi saat ini sedang musim, pamer pamet kekayaan di media sosial dari para istri pejabat. Pamer tas mahal, motor gede, atau mobil rubicon yang sengaja dipertontonkan untuk meledek rakyat.miskin yang hanya dapat duit dari Bansos.
Oleh: Uchok Sky Khadafi, Direktur Center for Budget Analysis (CBA)