DUGAAN tindak pidana pencucian uang di Kementerian Keuangan terbongkar. Nilai transaksinya mencapai Rp349 triliun selama 2009-2023. Melibatkan 491 pegawai Kementerian Keuangan.
Terlalu dini mengatakan, dugaan pencucian uang di Kementerian Keuangan bukan korupsi. Pernyataan ini tidak tepat. Dugaan pencucian uang dan penumpukan harta kekayaan ilegal bisa, bahkan patut diduga, dari korupsi, baik korupsi penerimaan pajak atau korupsi penerimaan bea cukai.
Kalau pejabat pajak disuap oleh wajib pajak, dan tertangkap tangan (OTT), maka penyuapan ini menjadi korupsi.
Tetapi, kalau penyuapan tidak tertangkap, maka terjadi penumpukan harta ilegal, dan dikategorikan pencucian uang, karena belum diketahui sumber harta ilegal tersebut apakah dari korupsi atau lainnya.
Misalnya, kasus Gayus Tambunan dan Angin Prayitno Aji. Keduanya tertangkap dan didakwa korupsi penyuapan pajak.
Ketika diselidiki lebih dalam, ternyata harta kekayaan mereka sangat besar. Jauh lebih besar dari dakwaan korupsi. Maka itu, masuk kategori pencucian uang. Karena belum terbukti berasal dari korupsi.
Harta kekayaan Gayus ketika itu diperkirakan lebih dari Rp100 miliar. Harta Angin Prayitno yang disita KPK ditaksir setidaknya-tidaknya Rp57 miliar.
Patut diduga keras, harta kekayaan tersebut berasal dari korupsi penyuapan pajak yang tidak tertangkap. Karena yang bersangkutan sebagai pejabat pajak yang mempunyai kekuasaan untuk menagih dan menentukan jumlah pajak.
Setelah kasus korupsi selesai dan divonis, Gayus Tambunan dan Angin Prayitno kemudian didakwa tindak pidana pencucian uang atas jumlah harta kekayaan yang tidak normal tersebut.
Angin Prayitno diduga menerima gratifikasi dari PT Rigunas Agri Utama (RAU), CV Perjuangan Steel (PS), PT Indolampung Perkasa, PT Esta Indonesia, wajib pajak Ridwan Pribadi, PT Walet Kembar Lestari (WKL), dan PT Link Net.
Gratifikasi dari wajib pajak harus dianggap korupsi. Maka itu, wajib pajak pemberi gratifikasi harus diperiksa dan dituntut.
Karena, kerugian negara dari korupsi pajak sebagian besar dinikmati oleh wajib pajak.
Misalnya dalam kasus Bank Panin. Pengurangan pajak yang menjadi kerugian negara mencapai Rp623 miliar, dari kewajiban pajak Rp926 miliar, dikurangi menjadi Rp303 miliar.
Dari kerugian negara Rp623 miliar tersebut, yang diberikan kepada tim pajak hanya Rp25 miliar saja. Artinya, Bank Panin menikmati Rp598 miliar dari kerugian negara tersebut, atau sekitar 96 persen. Atau setidak-tidaknya sembilan kali lipat dari nilai suap pajak.
Artinya, setiap pejabat pajak menerima korupsi suap Rp1 triliun, wajib pajak menikmati korupsi pajak hingga Rp9 triliun. (https://m.mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/435749/bank-panin-menyuap-rp25-miliar-untuk-pengurangan-pajak-rp600-miliar)
Kalau pejabat pajak menerima korupsi penerimaan pajak Rp20 triliun, maka wajib pajak bisa menikmati korupsi pajak hingga Rp180 triliun. Total kerugian negara bisa mencapai Rp200 triliun, atau sekitar satu persen dari PDB 2022.
Oleh karena itu, wajib pajak juga harus diperiksa bersamaan dengan penyidikan dugaan pencucian uang di Kementerian Keuangan.
Hal yang sama juga berlaku untuk dugaan pencucian uang di bea cukai.
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)