Rancangan Undang-undang Omnibus Law Kesehatan harus bermanfaat bagi masyarakat luas. Salah satu yang terpenting adalah mencabut pasal terkait iuran wajib BPJS Kesehatan yang selama ini membebani dan bermasalah bagi masyarakat.
“Ini saatnya.pemerintah mencabut beban iuran bulanan BPJS Kesehatan pada masyarakat. Karena kalau gak bayar iuran, pasien tidak mendapat pelayanan. Ini namanya negara jualan pelayanan kesehatan. Cabut pasal iuran dalam UU SJSN dan UU BPJS itu,” tegas Roy Pangharapan dari Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) di Jakarta, Selasa (4/4).
Roy mengingatkan, perubahan sebaik apapun kalau rakyat masih dipungut iuran, maka tidak ada perbaikan signifikan dalam Undang-undang Omnibus Law Kesehatan itu.
“Negara seharusnya melindungi rakyatnya seperti perintah Preambule UUD’45 Asli! Hentikan jualan layanan kesehatan di rakyat. Agar transformasi kesehatan bisa menjadi lebih bermanfaat,” tukas Roy.
Ia mengingatkan gaji ratusan juta yang didapat setiap bulan oleh masing masing direksi dan manajemen BPJS dan pembangunan gedung kantor yang diambil dari iuran BPJS seluruh rakyat Indonesia.
“Ini negara Pancasila bukan negara barbar! Rakyat disuruh gotong royong memperkaya petinggi BPJS. Sementara rakyat kalau sakit susahnya minta ampun. Apalagi kalau belum bayar iuran,” tutur Roy.
13 UU Yang Terdampak
Sebelumnya, Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Hukum Kesehatan Sundoyo mengatakan sebanyak 13 Undang-undang (UU) Kesehatan eksisting terdampak oleh Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan 2023.
“Terdapat 13 UU yang terdampak, di mana sembilan UU akan dicabut dan lainnya mengalami perubahan. Hal ini dikarenakan adanya tumpang tindih antara satu UU dengan UU yang lain,” ujar Sundoyo dalam Dialog FMB9 yang mengangkat tema Transformasi Layanan Kesehatan Indonesia: RUU Kesehatan, Senin (3/4)
Ia mengatakan RUU Kesehatan merupakan inisiatif dari DPR RI dengan metode omnibus law. Oleh karena itu, UU Kesehatan dapat memuat substansi baru, mengubah UU yang mirip, serta mencabut UU yang setara.
Di tengah pandemi COVID-19 yang baru saja melanda, kata Sundoyo, RUU Kesehatan diharapkan dapat memberikan landasan hukum yang kuat untuk mengatur sistem kesehatan Indonesia yang selama ini masih banyak terdapat ketimpangan dan ketidakmerataan dalam akses pelayanan kesehatan.
Beberapa UU yang akan masuk ke dalam revisi UU Kesehatan yang menggunakan mekanisme omnibus adalah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Selain itu, ada pula Undang-Undang 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi, dan Undang-Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Menurut Sundoyo permasalahan kesehatan di Indonesia yang sangat kompleks membutuhkan solusi yang menyeluruh, mulai dari pemenuhan sumber daya tenaga kesehatan, fasilitas dan infrastruktur, hingga industri farmasi.
“Farmasi juga menjadi hal penting dalam RUU Kesehatan ini. Saat ini, 90 persen bahan baku obat masih diimpor, sehingga kemandirian dalam hal ini harus ditingkatkan,” katanya.
Pada acara yang sama, Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute Ahmad Redi mengatakan dalam regulasi kesehatan, terdapat 15 UU yang mengandung potensi konflik norma dan masalah implementasi.
“Indonesia sendiri diketahui memiliki regulasi yang rumit dan berbelit-belit, sehingga menjadi sulit untuk mencapai kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal. Oleh karena itu, RUU Kesehatan menjadi inisiatif yang bagus dari DPR dan pemerintah,” katanya.
Dalam pandangannya, RUU Kesehatan bisa mempermudah perizinan, pendirian program studi kedokteran, dan distribusi fasilitas kesehatan yang lebih merata, terutama di luar Pulau Jawa.