SIDANG dakwaan pencemaran nama baik dan penghinaan yang dijalani aktivis hak asasi manusia (HAM) Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti memberi pesan kepada kita semua bahwa apapun kepentingan publik harus tunduk pada kepentingan pejabat publik, termasuk perasaan dan suasana hatinya.
Berstatus pembela HAM (human rights defender), Haris dan Fatia didakwa pasal berlapis mengenai penghinaan hingga keonaran pada Senin, 3 April lalu. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, (Menko Marives) Luhut Binsar Panjaitan habis-habisan membela nama baiknya atas tuduhan keterlibatan ekonomi-politik dalam bisnis tambang di Blok Wabu Intan Jaya, Papua. Ia merasa nama baik dan kehormatannya diserang sehingga membuatnya merasa sakit hati.
Alih-alih menjawab dan menjelaskan ihwal keterlibatannya dalam bisnis tambang di Papua, Luhut lebih memilih memidanakan Haris dan Fatia dengan pasal pencemaran nama baik dan penghinaan. Pasal yang kerap digunakan untuk melindungi pemerintah kolonial Hindia Belanda dari kritikan para pejuang perintis kemerdekaan Indonesia. Ironisnya, sekalipun sudah hampir 78 tahun merdeka, kita masih diwarisi logika bahwa pejabat publik dan lembaga negara adalah simbol yang harus dijaga martabatnya, sekalipun harus menyisihkan kepentingan publik.
Telah sepatutnya kita katakan bahwa Luhut jauh dari sikap patriotis seorang prajurit yang semestinya rela berkorban demi kepentingan publik. Ia hanya sibuk mengurusi nama baik dan kehormatan melalui proses hukum, sementara kejahatan kemanusian dan eksploitasi alam di Papua terus berlanjut.
Catatan KontraS menyebutkan bahwa situasi di Papua kian memburuk karena operasi militer ilegal. Eskalasi kekerasan di Papua, khususnya di daerah-daerah pos konflik seperti Intan Jaya pun meningkat. Aparat keamanan dan militer terus dikerahkan, kontak tembak semakin banyak. Yang kemudian jadi korban adalah warga sipil serta pengungsi yang terus bertambah jumlahnya tanpa dipenuhi hak-haknya.
Tanggung Jawab terhadap Publik
Terlepas dari perdebatan keterlibatan Luhut dalam bisnis tambang di Papua, toh dengan mata telanjang sekalipun kita dapat melihat bahwa praktik bisnis lain Luhut menjalar di Republik ini. Sebutlah PT Toba Sejahtra dan anak perusahaannya yang bergerak di berbagai sektor energi seperti kelistrikan, tambang, minyak, gas, perkebunan, properti, dan industri. Padahal, sebagai seorang pejabat publik yang diamanahkan untuk mengambil keputusan yang berpengaruh pada publik luas, ia telah sepatutnya diharamkan untuk berbisnis.
Bivitri Susanti dalam esai bertajuk “Belantara Benturan Kepentingan” menggambarkan bahwa situasi tersebut dikenal sebagai conflict of interest atau benturan kepentingan. Terjadi dilema antara pilihan yang berguna bagi dirinya sendiri atau pilihan bagi publik yang harusnya mendapat manfaat. Imbasnya, muncul perilaku koruptif dan pengambilan keputusan yang merugikan kepentingan publik.
Demikianlah Onrechtmatige overheidsdaad atau perbuatan melanggar hukum oleh pejabat publik dimungkinkan terjadi. Atas dasar itu, muncul teori mengenai kedaulatan dari John Locke. Locke menerangkan bahwa partisipasi dan kedaulatan warga adalah upaya membatasi kekuasaan kepala negara atau raja, sehingga dapat mengurangi berbagai kemungkinan pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan secara ekstrem.
Berangkat dari konsep demokrasi deliberatif, ketimbang memposisikan Haris dan Fatia sebagai kriminal, semestinya aktivitas keduanya dipandang sebagai sebuah partisipasi publik dalam upaya mengawasi dan membatasi kekuasaan pejabat publik. Apalagi jika urusannya hanya ketersinggungan dari pejabat publik yang bersangkutan. Tidak perlulah dibawa ke ranah pidana. Repot, jika pejabat publik kita hanya bertumpu ketersinggungan, alih-alih menjawab segala dugaan tersebut. Pandangan publik jadi makin gelap, penjara semakin penuh.
Luhut sebagai pejabat publik tidak akan mengerti ini. Ia hanya mengerti merengek dan meluapkan emosinya menggunakan segala kewenangan yang menyokong di baliknya.
Penyalahgunaan Proses Hukum
Judicial harassment atau kebiasaan buruk menggunakan proses hukum untuk membungkam kritik warga akan terus berlanjut. Haris dan Fatia hanya contoh kecil dari banyaknya warga yang dipidana karena menyampaikan kritik.
Ke depan, boleh jadi polisi dan jaksa akan menindak siapapun yang melakukan kritik terhadap pejabat publik berdasarkan ketersinggungan atau sakit hati. Sementara kepentingan publik, termasuk partisipasi warga di dalamnya, tunduk dan terkesampingkan.
Itulah yang digambarkan dalam teori Kedaulatan Raja atau Lord. Kekuasaan Lord adalah kekuasaan yang bebas, tidak terbatas, dan tidak terikat. Lord hanya tunduk dan bertanggung jawab kepada Tuhan, maka setiap kehendak dan perintah Lord dianggap sebagai perwujudan kehendak dan perintah Tuhan.
Dengan demikian, sebutan “Lord” yang disematkan publik pada Luhut semakin beralasan. Lord adalah siapapun orang yang dapat memegang kendali penuh atas segala otoritas di Republik ini, mulai dari sumber daya alam hingga penegakan hukum sekalipun.
Ingatlah, Pak Luhut, Republik ini tidak dikelola dan dibangun hanya berdasarkan perasaan dan suasana hati para pejabat publiknya!
Oleh: Delpedro Marhaen, Researcher di Bandung for Justice