Sikap Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto yang secara tersirat menolak revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) patut diapresiasi. Hal itu selaras dengan agenda reformasi terkait penghapusan dwifungsi ABRI.
“Prabowo memang tidak secara tegas menolak revisi UU TNI. Namun, ia bilang UU TNI sudah berjalan lama dan baik-baik saja. Nah, berarti bisa kita asumsikan bahwa Prabowo tak sepakat dengan revisi UU TNI,” ujar Sekjend Relawan Merah Putih 08, Husny Mubarok Amir, Selasa (16/5).
Dengan demikian, sambung Husny, Prabowo sangat memahami agenda reformasi ’98, salah satunya adalah pencabutan dwifungsi ABRI, agar para prajurit bisa profesional dan fokus pada tugasnya menjaga pertahanan dan keamanan.
“Polemik revisi UU TNI ini kan soal penambahan pos-pos kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI, dan ini tak selaras dengan agenda reformasi soal pencabutan dwifungsi ABRI,” tegas Husny.
Sikap Prabowo yang menolak revisi UU TNI, menurut Husny, sejatinya harus direspon positif dan didukung penuh aktivis ’98 yang merasa memiliki komitmen untuk mengawal agenda reformasi, sebagaimana yang dicita-citakan saat berjuang menumbangkan rezim Soeharto.
“Inilah momentum kawan-kawan aktivis ’98 untuk menunjukkan komitmen dalam mengawal agenda reformasi,” tandas Husny.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritisi rencana revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Koalisi Masyarakat Sipil menilai rencana perubahan sejumlah pasal adalah bentuk kemunduran demokrasi dan berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI.
Dalam keterangan tertulis, Selasa (9/5), Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri atas Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, AJI Jakarta.
Mereka berpendapat, dalam slide pembahasan Revisi UU TNI, terdapat sejumlah usulan perubahan pasal yang berpotensi membahayakan kehidupan demokrasi hingga pemajuan hak asasi manusia (HAM) di Tanah Air.
“Kami memandang pemerintah sebaiknya meninjau ulang agenda revisi UU TNI, mengingat hal ini bukan merupakan agenda yang urgen untuk dilakukan saat ini. Ditambah lagi, substansi perubahan yang diusulkan oleh pemerintah bukannya memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak tahun 1998, tapi justru malah sebaliknya. Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan perubahan memundurkan kembali agenda reformasi TNI,” bunyi rilis Koalisi Masyarakat Sipil yang diberikan oleh Ketua Centra Initiative Al Araf.
Sebagaimana diketahui, Saat ini Badan Pembinaan Hukum TNI sedang menggodok usulan draf perubahan UU TNI, antara lain, soal penambahan pos-pos kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI.
Dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur ada 10 pos jabatan di kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI, sementara pada usulan yang masih digodok oleh internal Babinkum ada 18 kementerian/lembaga.
Tambahan delapan kementerian/lembaga itu meliputi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Staf Kepresidenan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung.