Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat dalam konflik agraria di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau masih menjadi polemik.
Menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Pancasila Agus Surono, konflik agraria yangterjadi di Rempang tak ada unsur pelanggaran HAM berat.
“Peristiwa yang terjadi di Pulau Rempang, tidak dapat dikualifikasikan sebagai Pelanggaran Berat HAM, sebagaimana dimaksud pada UU No 26 Tahun 2000,” kata Agus di Jakarta, Selasa (19/09).
Dirinya pun beralasan bahwa secara yuridis berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 26 Tahun 2000 menyebut bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Sementara itu, Agus menilai, yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat di Indonesia adalah meliputi pertama ada kejahatan genosida. “Yakni setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama,” tutur Agus.
Kejahatan genosida dapat dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok.
“Kemudian menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain,” kata Agus.
Kedua, sambung, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.
“Kemudian penyiksaan; lalu perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; penghilangan orang secara paksa; atau kejahatan apartheid,” imbuh Agus.
Sementara itu, Agus menyebut bahwa pelanggaran HAM adalah tindakan yang bersifat sistematis dan meluas. “Kedua kata tersebut merupakan kata kunci yang bersifat melekat dan mutlak dan harus ada pada setiap tindakan pelanggaran HAM berat, khusus kaitannya dengan kejahatan terhadap kemanusiaan,” lanjutnya.
Berdasarkan UU, Agus mengatakan bahwa tidak unsur sistematis dan meluas dalam kejadian di Pulau Rempang. “Sebab ada faktor penting dan signifikan yang membedakan antara pelanggaran HAM berat dengan tindak pidana biasa menurut KUHP atau Perundang-undangan pidana lainnya,” ujarnya.
Berbeda dengan pandangan Agus, Staf Advokasi YLBHI Edy Kurniawan justru menilai, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Hal itu merujuk pada Pasal 9 huruf (d) Undang-Undang Pengadilan HAM. Karena itu, Edy yang juga mewakili Solidaritas Nasional untuk Rempang, menyimpulkan bahwa telah terjadi dugaan pelanggaran HAM dalam peristiwa kekerasan di Rempang pada 7 September 2023.
“Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa apalagi disertai dengan pengurangan/pembatasan hak dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan layanan publik merupakan kategori pelanggaran HAM yang berat yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan,” jelas Edy Kurniawan, Minggu (17/09).
Edy mencontohkan bentuk pengurangan pelayanan publik yaitu pendudukan kantor kecamatan di Rempang oleh Polri dan TNI yang berdampak pada berkurangnya atau pembatasan pelayanan publik. Selain itu, kata Edy, hasil penelusuran lapangan juga menemukan praktik penyalahgunaan kekuasaan melalui kebijakan otoriter. Beberapa di antaranya ditandai dengan lemahnya pengawasan dari legislatif dan tindakan militerisme.
“Kita saksikan pengerahan polisi dan tentara secara berlebihan, dan kemudian ada penghilangan hak-hak individu atas nama kebijakan negara,” tukas Edy.
Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rozy Brilian menambahkan pihaknya menemukan 20 orang yang menjadi korban dalam peristiwa 7 September 2023. Sebelas korban di antaranya berasal sekolah menengah dengan rincian 10 murid dan 1 guru. KontraS juga menemukan korban luka akibat peluru karet sehingga harus mendapatkan 12 jahitan dan perawatan khusus.
“Pada saat itu Polri menyampaikan bahwa tidak ada korban jiwa pada peristiwa Rempang. Kami coba telusuri fakta, ada data korban dan kami dapatkan 20 korban,” ujar Rozy.
Rozy juga membantah klaim Polri yang menyatakan penggunaan gas air mata sesuai prosedur dan tak perlu ada evaluasi. Di lapangan, Solidaritas Nasional untuk Rempang menemukan gas air mata ditembakkan secara serampangan. Salah satunya ditembakkan ke arah SMPN 22 Batam.
Di lain kesempatan, Komisioner Komnas HAM Saurlin Siagian Saurlin menambahkan Komnas HAM telah mengirimkan tim ke Rempang untuk memantau konflik antara warga Rempang dengan aparat keamanan terkait Proyek Strategis Nasional Rempang Eco City.
Kata dia, hasil pemantauan akan dijadikan bahan rekomendasi yang akan disampaikan Komnas HAM kepada pihak-pihak terkait. Ia mengatakan belum dapat menyampaikan hasil temuan tim di lapangan, karena khawatir akan mengganggu kerja tim jika disampaikan secara tidak utuh.
“Kita menghormati proses pemantauan yang sedang dilakukan teman-teman di sana. Kalau saya menyampaikan sesuatu justru akan menggangu, biarkan mereka mengumpulkan data dan informasi, investigasi dan lain sebagainya,” ujar Saurlin di Jakarta, Jumat (15/09).
Galangan kapal terlihat di Batam, 3 April 2019. Komnas HAM menilai pemerintah tidak perlu mengerahkan aparat keamanan untuk menangani persoalan di Rempang, Batam.
Saurlin Siagian menyarankan pemerintah untuk mengedepankan dialog dengan warga demi menyelesaikan konflik lahan di Rempang, Batam. Ia berpendapat pemerintah tidak perlu mengerahkan pasukan atau aparat ke Rempang karena pengiriman pasukan tersebut dapat membuat eskalasi persoalan di sana menjadi semakin meningkat.