Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi (MKE) mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan perundingan perdagangan bebas dengan Uni Eropa. Sebab, kerjasama Internasional yang dikenal dengan Indonesia—European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA) itu berpotensi bertentangan dengan prinsip pengutamaan perlindungan HAM, kedaulatan ekonomi rakyat, dan pemenuhan prinsip demokrasi.
Menurut Direktur Sahita Institute (HINTS), Olisias Gultom, selain akan merusak kedaulatan ekonomi rakyat, Indonesia-EU CEPA juga bertentangan dengan komitmen Presiden Joko Widodo untuk merealisasikan transformasi ekonomi Indonesia dengan menciptakan ekonomi berdaya saing tinggi melalui agenda penghiliran industri nasional.
Sementara, sambung Olisias, aturan di dalam Indonesia-EU CEPA justru meliberalisasi berbagai aspek yang dibutuhkan oleh industry kecil dan menengah Indonesia. Beberapa ketentuan tersebut seperti pelarangan kewajiban kandungan lokal (tingkat kandungan dalam negeri/TKDN), liberalisasi pengadaan barang dan jasa pemerintah yang menghilangkan prioritas pada industry kecil dan menengah, pelemahan peran BUMN, dan melarang pembatasan ekspor untuk kewajiban pengolahan dalam negeri.
“Indonesia sedang di bawah bayang-bayang kolonialisme gaya baru yang dilakukan melalui Indonesia-EU CEPA. Komitmen pemerintah untuk memproteksi industry nasional, khususnya industry yang berbasis ekonomi kerakyatan, akan terancam jika Perjanjian perdagangan bebas seperti Indonesia-EU CEPA melarang penerapan aturan tentang pembatasan ekspor mineral mentah dan kewajiban pengolahan dalam negeri, serta pensyaratan kandungan lokal. Jika perjanjian semacam ini ditandatangani hari ini oleh Presiden Jokowi, tentunya Indonesia harus menyesuaikan kebijakan nasionalnya dengan isi perjanjian tersebut. Dan dalam waktu jangka Panjang ke depan, Pemerintah Indonesia tidak dapat mengamandemennya atau harus berhadapan dengan berbagai gugatan perdagangan internasional,” tegas Olisias dalam konfrensi pers di Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (7/12).
Dalam kesepatan yang sama, peneliti dari Transnational Institute, Rachmi Hertanti, menjelaskan bahwa dalam konteks agenda hilirisasi industry untuk produksi baterai listrik yang digadang-gadang Pemerintah, Indonesia-EU CEPA hanya akan berkontradiksi dengan berbagai kebijakan proteksi industry yang telah diterapkan oleh Indonesia selama ini. Yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah kebijakan yang melindungi industry rakyat dan hal ini tidak cocok dengan semangat Indonesia-EU CEPA yang mendorong liberalisasi secara luas.
Uni Eropa adalah negara yang menentang keras kebijakan Indonesia mengenai pelarangan ekspor mineral mentah untuk menjalankan kewajiban pengolahan di dalam negeri. Dan Indonesia telah kalah atas gugatan Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) terkait dengan kebijakan tersebut.
Rachmi Hertanti, menjelaskan salah satu tujuan utama Uni Eropa mendesak perluasan Kerjasama perdagangan internasional dengan negara-negara ASEAN, Latin Amerika, dan Afrika adalah untuk mengamankan rantai pasokan sumber mineral penting untuk Pembangunan industrinya terutama sejak Komisi Uni Eropa mengeluarkan peraturan tentang EU Critical Raw Material Act (CRMA). Tentunya, Indonesia-EU CEPA akan mencakup ketentuan yang memfasilitasi kepentingan strategis EU tersebut agar dapat mengakses bahan baku penting di Indonesia.
“EU akan memerangi peraturan perdagangan yang “tidak adil” terkait mineral penting, khususnya penghapusan pembatasan ekspor mineral mentah dan penerapan bea ekspor yang selama ini diterapkan Indonesia, termasuk pelemahan peran BUMN yang berperan sentral dalam agenda hilirisasi industri. Jika ketentuan ini Kembali disepakati tentu akan sulit bagi pemerintah untuk mempertahankan kedaulatan ekonominya dan Kembali berpotensi digugat di WTO dan arbitrase internasional melalui mekanisme Investor to State Dispute Settlement (ISDS),” tukas Rachmi.
Koordinator Nasional Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin), Marthin Hadiwinata, menambahkan, Indonesia-EU CEPA yang menjadi cara untuk mempercepat hilirisasi nikel akan mengancam sumber daya pesisir dan pulau kecil di Indonesia. Ditambah lagi dengan UU Cipta kerja dan ada Upaya untuk melemahkan undang-undang pesisir di Mahkamah Konstitusi oleh perusahaan tambang nikel di pulau wawoni.
“Indonesia-EU CEPA adalah cara untuk mengeruk sumber daya pesisir laut khususnya mineral kritis yang akan menghancurkan pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga berdampak pada nelayan skala kecil dan komunitas pesisir di Indonesia,” tutur Marthin.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rahmat Maulana Sidik, berpendapat, bab perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dalam Indonesia-EU CEPA hanya akan terus membuat ketergantungan Indonesia pada Uni Eropa sebagai negara asal korporasi multinasional yang memiliki kemajuan teknologi.
“Bab ini mencerminkan kepentingan UE dalam memberikan perlindungan kepada korporasi multinasional atas monopoli teknologi dan penemuan baru teknologi, termasuk kontrol distribusi dan harga. Dengan aturan ini Pemerintah Indonesia tidak dapat mengakses pengetahuan tersebut untuk kepentingan transisi industrinya di segala bidang, khususnya Kesehatan dan pertanian termasuk untuk mendukung produksi teknologi hijau yang dibutuhkan saat ini. Bahkan, perlindungan HAKI terkait dengan digital teknologi dilakukan melalui aturan kerahasiaan pemrosesan data melalui kode sumber (source code). Kode sumber (source code) dilindungi untuk aspek bisnis, bukan untuk keamanan dan keselamatan Masyarakat,” terangnya.
Koalisi juga menegaskan bahwa Indonesia-EU CEPA hanya akan menghilangkan jaminan Perlindungan HAM bagi rakyat. Perundingan Indonesia-EU CEPA memprioritaskan Perlindungan Hak Pengusaha/Investor asing dibanding Hak Rakyat. Berbagai ketentuan dalam Indonesia-EU CEPA hanya akan memberikan kemudahan fasilitas investasi dan memberikan perlindungan investor melalui ketentuan sengketa investasi.
Koalisi MKE berharap Pemerintah Indonesia tidak memanfaatkan momentum Pemilu 2024 untuk memuluskan deal bisnis dalam Indonesia-EU CEPA yang terbukti merugikan kepentingan rakyat secara luas. Bahkan, Koalisi MKE juga mengkritisi ketiga kandidat Capres-Cawapres yang membicarakan tentang agenda hilirisasi industry tanpa mengkritis perjanjian perdagangan bebas yang tidak sesuai dengan semangat kedaulatan ekonomi rakyat dan bertentangan dengan kepentingan industry kecil dan menengah serta memarjinalkan pengutamaan produk lokal. Sudah seharusnya penguatan industry lokal dilakukan tanpa liberalisasi ekonomi yang dilegitimasi oleh perjanjian perdagangan internasional, serta melakukan review seluruh perjanjian perdagangan internasional yang dimiliki Indonesia.