Indonesia sedang tidak baik-baik saja, meninggalkan negara hukum, menuju negara tirani, menjelma menjadi negara kekuasaan, dipermainkan penguasa yang haus kekuasaan.
Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis politik yang sangat serius. Kekuatan politik di DPR tersandera eksekutif.
DPR tidak mampu menjalankan fungsi dan kewajiban konstitusinya, sebagai pengawas Presiden. DPR tidak mampu menjalankan perintah konstitusi Pasal 7A, pasal pemberhentian presiden dalam masa jabatan.
DPR tidak mampu mengawasi presiden agar melaksanakan pemilu secara luber (langsung, umum, bebas, rahasia) dan jurdil (jujur, adil), sesuai perintah konstitusi. Bahkan sebaliknya, Presiden Joko Widodo menyatakan secara terbuka berpihak kepada salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Penyelenggara hukum, yudikatif, juga tidak mampu menjalankan fungsi dan kewajiban konstitusinya.
Mahkamah Konstitusi bukan menegakkan konstitusi. Tetapi menjaga kepentingan Presiden, dengan melanggar moral, etika dan hukum. Mahkamah Konstitusi meloloskan UU yang melanggar Konstitusi, seperti UU Cipta Kerja, dan meloloskan Gibran menjadi calon wakil presiden.
KPU bersikap tidak adil dan tidak netral. KPU menunjukkan keberpihakan kepada penguasa. KPU tidak menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai undang-undang. KPU melanggar etika dan hukum. KPU menjadi alat kekuasaan.
Kondisi ini menjadi semakin buruk ketika DPR juga tidak berdaya mengembalikan KPU sebagai komisi independen dan netral.
Ketika parlemen tidak berdaya, rakyat mengambil alih secara langsung fungsi pengawasan terhadap Presiden. Kritik, protes, demo, disampaikan. Tetapi tidak digubris. Bahkan, pelanggaran semakin nyata dan terbuka. Tanpa malu.
Demo tidak jarang dibalas dengan tindakan represif dan brutal. Dihadang aparat bersenjata. Korban luka dan korban jiwa berjatuhan.
Tapi rakyat tidak menyerah. Demi menjaga masa depan Indonesia yang lebih baik, untuk generasi mendatang. Sebaliknya, perlawanan rakyat semakin masif. Rakyat dari berbagai kalangan bangkit. Guru besar, pengajar, budayawan, agamawan, aktivis, pengacara, mahasiswa, dan lainnya, mulai bersuara keras.
Bagaimana aparat bersenjata, khususnya militer atau TNI, menghadapi situasi seperti ini? Apakah TNI juga akan melakukan tindakan represif kepada para demonstran, at all cost, untuk melanggengkan kekuasaan Joko Widodo dan kroni?
Atau, militer akan diam saja, melihat kedaulatan rakyat dan demokrasi ditindas, konstitusi ditindas, dan menyaksikan Indonesia menjelma menjadi negara kekuasaan tirani?
Apakah seperti itu?
Ozan Varol, profesor bidang hukum asal Turki di perguruan tinggi Lewis & Clark Law School, Amerika Serikat, mempunyai pandangan menarik mengenai peran militer.
Ozan Varol berpendapat, militer mempunyai peran sangat penting dalam menjaga demokrasi dan konstitusi, seperti diungkapkan di dalam tulisannya dengan judul: The Democratic Coup d’Etat (Kudeta Demokratis), dan The Military as the Guardian of Constitutional Democracy (Militer Sebagai Penjaga Demokrasi Konstitusional).
Ozan Varol berpendapat, tidak semua kudeta yang dilakukan militer berarti anti-demokrasi.
Sebaliknya, kudeta militer untuk melawan pemerintahan otoriter justru akan memperkuat demokrasi. Karena, pemerintahan otoriter pada prinsipnya adalah pemerintahan anti-demokrasi, yang melanggar kedaulatan rakyat dan konstitusi. Sehingga menumbangkan pemerintahan otoriter secara otomatis akan menegakkan demokrasi dan konstitusi.
Ozan Varol memberi contoh, Kudeta Demokratis militer (Democratic Coup d’Etat) yang terjadi di Turki dan Portugal terbukti memperkuat demokrasi di kedua negara tersebut.
Kudeta Demokratis militer di Turki (1960) berhasil mengembalikan sistem demokrasi di Turki dari tangan rezim otoriter yang dipimpin Partai Demokrat (Demokrat Parti) sejak 1950.
Setelah berhasil menumbangkan rezim otoriter, militer Turki mengeluarkan pernyataan, “kudeta dimaksudkan untuk menyelamatkan demokrasi Turki dari pemerintahan otoriter”.
Militer Turki juga membuat komitmen tegas, akan menyelenggarakan pemilu yang adil dan bebas secepatnya.
Pasca Kudeta Demokratis, militer Turki membubarkan Demokrat Parti dan membentuk pemerintahan transisi dengan memasukkan unsur sipil.
Sebelumnya, Perdana Menteri Adnan Menderes menetapkan “status darurat” untuk meredam dan melawan gelombang protes masyarakat.
Namun, militer Turki menolak perintah Adnan Menderes untuk mengambil tindakan represif kepada masyarakat demonstran.
Militer Turki bahkan melakukan sebaliknya, yaitu menumbangkan rezim otoriter Adnan Menderes.
Kudeta Demokratis militer di Portugal (1974), yang dikenal dengan Carnation Revolution, juga berhasil menegakkan Demokrasi dan Konstitusi Portugal dari cengkeraman rezim otoriter Estado Novo yang berkuasa sejak 1932.
Partai politik terafiliasi rezim Estado Novo kemudian dibubarkan, dan semua tahanan politik dibebaskan.
Kedua contoh Kudeta Demokratis yang dilakukan militer di kedua negara tersebut memberi ilustrasi, bahwa kudeta militer tidak selalu buruk bagi demokrasi. Sebaliknya, demokrasi di kedua negara tersebut menjadi jauh lebih baik pasca kudeta militer.
Ada persamaan pemikiran Ozan Varol dengan pemikiran John Locke (1632-1704), filsuf asal Skotlandia, yang menyatakan bahwa revolusi sah untuk melawan pemerintahan otoriter yang melanggar konstitusi dan kedaulatan rakyat.
Pemikiran John Locke bahkan diadopsi oleh Amerika Serikat, dituangkan secara eksplisit didalam dokumen deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat.
Untuk tujuan ini, peran militer menjadi sangat kritikal, untuk mempercepat proses penyelamatan demokrasi dari tangan rezim otoriter.
Bagaimana dengan militer Indonesia dalam menghadapi situasi seperti itu? Apakah akan menyaksikan Indonesia terjerumus menjadi negara otoriter?
Atau membantu rakyat menyelamatkan kedaulatan rakyat dan demokrasi?
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)