Walau sesungguhnya telah terjadi krisis konstitusi yang parah dan sikap otoriter pemerintah yang melebihi batas, namun semua ini tidak tampak karena masyarakat dilanda euforia pesta demokrasi Pemilu dan Pilpres 2024. Semua ini dimulai saat ada gunjingan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin berkuasa 3 (tiga) periode dan memundurkan pelaksanaan Pemilu/Pilpres. Namun, keinginan Jokowi yang diangkat oleh para kaki tangannya itu rupanya tidak ditindaklanjuti secara mulus oleh lembaga negara, bahkan oleh partainya sendiri (PDIP).
Di sinilah mulai lahir berbagai manuver akrobatik dari Jokowi yang semakin otoriter. Bahkan, ada yang menyebut langkah Jokowi ini seperti pernyataan Raja Prancis Louis XIV tanggal 13 April 1655. Ia mengatakan “L’Etat, c’est moi”, artinya “Negara adalah Saya”. Hal itu disampaikan ketika Raja menyatakan posisinya yang absolut dan menolak usulan dari Parlemen.
Inilah mengapa akhir-akhir ini berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia bersikap keras karena adanya transisi Indonesia dari bentuk pemerintahan yang demokratis menjadi pemerintahan despotis. Apa yang dilakukan Jokowi akhir-akhir ini telah membuktikan adanya gejala itu. Despotisme adalah pemerintahan dengan satu penguasa tunggal (baik individual atau oligarki) yang berkuasa dengan kekuatan politik absolut.
Diawali Keinginan Berkuasa Tiga Periode
Partai politik dan parlemen pun disubordinasi oleh kekuasaan absolutnya dalam mengendalikan dan mendistribusikan APBN dan fasilitas pemerintah untuk menjamin kemenangan Paslon tertentu dalam Pemilu dan Pilpres. Despotisme berarti tiran yang menjalankan kekuasaannya melalui hukum dan kekerasan, atau disebut absolutisme, atau diktatorisme. Despotisme lebih buruk daripada sistem Monarki.
Menurut Montesquieu, dalam monarki, penguasa masih memerintah berdasarkan hukum, sementara dalam despotisme, penguasa memerintah berdasarkan keinginannya sendiri. Oleh karena itu, ketika upaya untuk berkuasa tiga periode dan gagasan menunda pelaksanaan Pemilu/Pilpres gagal, Jokowi menjalankan berbagai manipulasi konstitusi sesuai keinginannya. Ketentuan KPU tentang calon presiden dan wakil presiden harus berusia 40 tahun ke atas ditambahi kalimat “atau pernah menjabat kepala daerah melalui pemilihan umum”.
Hal itu dilakukan agar anaknya, Gibran Rakabuming yang berusia 35 tahun dapat mencalonkan diri sebagai Cawapres. Dengan demikian, Jokowi by proxy tetap dapat “berkuasa selama tiga periode” dengan memberi dukungan terhadap koalisi besar parpol yang mencapreskan Prabowo Subianto. Inilah fokus penting pelanggaran konstitusi yang dilakukan Jokowi bekerja sama dengan iparnya yang menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (Anwar Usman).
Berbagai Akrobat Inkonstitusional Jokowi
Mengorbitkan anak kandung dalam kontestasi Pemilu/Pilpres merupakan tindakan untuk membangun Dinasti Politik. Pencawapresan Gibran Rakabuming sebagai penerus kekuasaan Jokowi tanpa jeda sudah memenuhi definisi harfiah tentang Dinasti Politik. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi kemunduran demokrasi di Indonesia, apalagi biasanya hal ini disertai dengan berbagai kecurangan agar Dinasti Politik itu bisa diterima oleh publik.
Rekayasa konstitusi yang dilakukan Presiden Jokowi yang secara tidak langsung dilakukan oleh para operatornya sangat membahayakan Indonesia sebagai negara hukum. Hal itu antara lain, (1) Mempersiapkan penggugat terhadap pasai 169 huruf q UU 7/2017 untuk memperkarakan, (2) Manuver terhadap persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui penafsiran salah atas disenting opinion, (3) Membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang tidak membatalkan produk hukum yang diputus oleh hakim yang melanggar etika.
Celakanya putusan MK terhadap UU 7/ 2017 itu oleh Ketua Komite Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari tidak diterapkan sesuai tata waktu yang benar secara yuridis. Sehingga oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bersangkutan diberi sanksi peringatan keras karena mengesahkan Gibran Rakabuming sebagai Cawapres berdasar Peraturan KPU yang belum diubah sesuai putusan MK. Model penindakan hukum ini ibarat “membolehkan orang tetap memakan bangkai asalkan juru masaknya diberi sanksi”.
Penggunaan Tidak Sah Anggaran dan Fasilitas Negara
Bukti-bukti kebijakan dan tindakan Presiden Jokowi ini dinilai sudah memuakkan, bersamaan dengan beredarnya tagar #KamiMuak di media sosial. Apalagi jika melihat bahwa rencana Presiden Jokowi untuk “berkuasa selama tiga periode” sebenarnya sudah disiapkan sejak dini. Bahkan sebelum anaknya mencalonkan diri sebagai Walikota Surakarta, telah dirancang proyek-proyek strategis nasional yang dananya bisa disisihkan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaannya.
Semakin dekat Pemilu/Pilpres, banyak kejanggalan-kejanggalan kebijakan Jokowi terjadi. Misalnya, anggaran Bansos dinaikkan dari Rp20,5 T menjadi Rp496,8 T yang dipreferensikan seperti “serangan fajar” dalam Pemilu. Demikian pula Bantuan Langsung Tunai (BLT) akan diberikan melalui rapel pembayaran untuk tiga bulan, yakni Rp600 ribu bagi 18,8 juta penduduk miskin.
Banyak tuduhan dilayangkan terhadap kebijakan untuk memanfaatkan Bansos dan BLT ini sebagai suap politik warga untuk mencoblos Partai Politik serta Pilihan Capres dan Cawapres tertentu. Hal ini malah diamini sendiri oleh Jokowi dengan menyatakan bahwa ia akan berpihak dalam Pemilu/Pilpres 2024, menyusul aksi cawe-cawe yang dilakukan sebelumnya. Bahkan 14 hari sebelum hari pencoblosan, Jokowi masih mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) korektif Nomor 6 Tahun 2024 untuk menaikkan gaji PNS.
Penghancuran Sistem Hukum Secara Sistemik
Apapun alasannya, tindakan Jokowi di atas merupakan modus melawan prinsip Jurdil (Jujur dan Adil) dalam pelaksanaan Pemilu/Pilpres. Terkait hal tersebut, Presiden Jokowi juga telah menggunakan aparatur negara Polri dan TNI untuk melakukan represi terhadap kegiatan partai dan aktor politik jelang dilaksanakannya Pemilu/Pilpres 2024. Kapolri Listyo Sigit Pramono juga diduga berpihak melalui pernyataannya di Perayaan Natal Mabes Polri dengan mengatakan bahwa kriteria pemimpin pengganti Jokowi adalah sosok yang mampu meneruskan estafet kepemimpinannya.
Kebijakan Jokowi dalam menghancurkan sistem hukum diindikasikan dengan terbitnya Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law) Nomor 11 Tahun 2020 yang inkonstitusional yang kemudian dimentahkan oleh Mahkamah Konstitusi. Yang fatal dalam UU Cipta Kerja tersebut adalah karena pasal penting (Pasal 67, 68, dan 69) untuk pemidanaan pelanggaran Perguruan Tinggi atas UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah dihapus. Dengan demikian, ijazah palsu, gelar palsu, dan penyelenggaraan pendidikan yang salah tidak bisa dipidanakan.
Penghilangan pasal-pasal penting dalam UU Sisdiknas diduga terkait dengan isu cacat dalam sejarah pendidikan Jokowi yang diduga menggunakan ijazah palsu sejak pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang sekarang diperkarakan. Pembela hukum Jokowi tidak pernah bisa menunjukkan ijazah asli dari Joko Widodo. Dalam isi deklarasi para Guru Besar, dinyatakan bahwa serangkaian perbuatan melawan hukum oleh Jokowi tersebut juga bisa dikategorikan sebagai pelanggaran berat terhadap etika dan moral.
Jokowi Bukan Negarawan
Pelanggaran etika dan moral yang dilakukan Jokowi dengan terang-terangan mengesankan bahwa ia sedang melawan arus menghadapi suara kritis masyarakat. Presiden lantas membagikan sembako di depan Istana dan membantah dirinya melanggar hukum dengan melaminasi klausul UU Pemilu pasal 299 ayat (1). Tetapi presiden sebenarnya mengabaikan Pasal 281 ayat (1) yang menyatakan bahwa ketika Presiden berpihak atau berkampanye tidak boleh menggunakan fasilitas dalam jabatannya dan harus menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Apa yang dilakukan Jokowi tersebut jelas mengabaikan sistem pemerintahan presidensial, bahwa di samping sebagai kepala pemerintahan, presiden juga sebagai kepala negara. Dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, dinyatakan bahwa tugas wewenang presiden dibagi menjadi dua, yakni tugas presiden sebagai kepala pemerintahan dan tugas presiden sebagai kepala negara. Sebagai Kepala Negara, Presiden menjadi Panglima Tertinggi TNI, menyatakan perang dan damai, serta menyatakan keadaan darurat, di samping membawahi Polri.
Karena kedudukan Presiden Jokowi yang mendua, maka jika presiden berpihak kepada salah satu Paslon untuk memenangkannya dalam Pemilu/Pilpres, ini berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power, atau dalam bahasa Prancis detournement de pouvoir. Hal ini sudah terjadi dengan diperintahkannya anggota kepolisian mendatangi beberapa Guru Besar yang terlibat dalam deklarasi menyikapi Jokowi yang telah melakukan pelanggaran atas etika, moral, hukum, dan konstitusi.
Kejatuhan Rezim Jokowi Akan Semakin Nyata
Kondisi konstitusi dan hukum yang penafsiran dan penerapannya menyimpang merupakan salah satu indikasi runtuhnya negara dan jatuhnya pemerintahan. Berangkat dari pendekatan institusionalis Max Weber; Daniel Lambach, Eva Johais, dan Markus Bayer mendefinisikan keruntuhan negara ditandai dengan ketidakmampuan untuk membuat dan menegakkan aturan yang mengikat, mempertahankan monopoli atas kekerasan, dan menggalang pemungutan pajak.
Para ilmuwan di atas lebih jauh memberikan indikator negara runtuh dan jatuhnya pemerintahan, yakni (1) kelompok oposisi melakukan mobilisasi atau mempersenjatai diri melawan pemerintah, (2) struktur kekuasaan yang ada mulai dipertanyakan, (3) politik memperpanjang kekuasaan dan melemahkan institusi negara, (4) ketidakpercayaan ekstrim masyarakat terhadap penguasa, (5) adanya faksionalisme dalam menetapkan kebijakan negara, (6) hilangnya kohesi atau daya rekat di kalangan elit penguasa, dan (7) adanya intervensi eksternal yang bertujuan destabilisasi.
Semua indikator tersebut sudah tampak dalam kadar menengah dan kejatuhan pemerintahan Jokowi akan semakin nyata jika tidak lagi mampu mempertahankan monopoli atas kekerasan. Yang dimaksudkan adalah jika Jokowi tidak lagi bisa mengendalikan polisi dan tentara untuk menghadapi serangan oposisi. Perlu diingat bahwa faktor pemicu (trigger factor) dalam politik merupakan faktor “X” yang sulit diprediksi dan diantisipasi oleh polisi dan tentara. Salah-salah tindakan kekerasan yang dilakukannya dapat menimbulkan turbulensi dan eskalasi politik yang sulit dihentikan.
Perlu Paham Sifat Kekuasaan
Kaum oposisi harus melek kekuasaan dan paham tentang sifat kekuasaan jika ingin melakukan gerakan. Menurut John Kenneth Galbraith, kekuasaan selalu diberikan kepada pihak yang memiliki keyakinan besar, tetapi bukan kepada mereka yang cerdas. Karena itu, menjatuhkan kekuasaan sebenarnya sangat mudah. Dalam praktiknya, apa yang disebut kekuasaan adalah ilusi kekuasaan, yakni akumulasi dari pencitraan yang dibangun oleh sang penguasa.
Mahatma Gandhi yang lemah dan tidak berdaya bisa mengalahkan British India yang secara militer kuat. Menurut Galbraith, hal ini karena ia memahami kekuasaan bukan sesuatu yang rigid sebagai milik negara dan penguasanya. Kekuasaan adalah proses mengalir ke dalam dan ke luar dari instrumen kekuasaan yang menegakkannya. Kekuasaan pada dasarnya mudah dijatuhkan kalau didahului oleh upaya persuasi dan penetrasi sebagaimana pasukan Cina menundukkan Majapahit.
Kecurangan dalam Pemilu/Pilpres 2024 harus dilawan, karena jelas kita tidak sedang melakukan perang tanding yang setara. Kecurangan yang didalangi oleh Jokowi sudah bersifat terstruktur, sistemik, dan masif (TSM). Hanya orang bodoh yang masih mau berkelahi dalam kondisi asimetris dan sama sekali tidak berimbang.
Kemungkinan yang terbaik adalah membentuk Pemerintahan Transisi untuk segera menjalankan Pemilu/Pilpres baru yang bisa dijalankan sesuai prinsip LUBER dan JURDIL. Hal itu dilaksanakan dengan melakukan audit dan eliminasi atas berbagai kecurangan dalam sistem Pemilu, baik dalam konteks hukum dan konstitusi maupun etika dan moral. Jika Pemilu dan Pilpres yang berjalan saat ini tetap berlangsung, dikhawatirkan akan melahirkan ketegangan politik yang kontraproduktif. *
Oleh: Ir. S. Indro Tjahyono, Eksponen 77/78