Kelangkaan, dan kenaikan harga, beras yang terjadi beberapa waktu belakangan perlu menjadi perhatian dan pemikiran kita semua.
Berdasarkan sejarah Bangsa Indonesia, fenomena kelangkaan beras acapkali dapat berujung pada instabilitas politik dan bahkan turun-naiknya rezim pemerintahan secara menyakitkan, tanpa melalui Pemilu.
Penyebab dari kelangkaan beras ini bukan sesederhana jawaban dari Presiden Jokowi, yang menyalahkan semuanya pada perubahan iklim.
Menurut saya, selain masalah perubahan iklim, ada dua pangkal masalah yang membuat kacau balaunya sistem ketahanan pangan kita dalam: 1) Proyek lumbung pangan/food estate, pencetakan sawah-sawah baru; dan 2) Perlindungan petani beras kita terhadap liberalisasi.
Food Estate Benar Secara Konsep
Secara konsep, Pemerintah sudah benar dengan mencoba membangun proyek lumbung pangan, mencetak sawah-sawah baru.
Hal ini sudah sesuai masukan banyak pihak sejak tahun 2018. Namun, yang menjadi masalah rupanya adalah pemilihan lokasi dari sawah-sawah baru tersebut.
Pemilihan lokasi lumbung pangan di Kalimantan Tengah di atas lahan gambut (organosol/histosols) terlampau beresiko, karena tingkat kesulitan yang sangat tinggi.
Kecocokan lahan gambut untuk pertanian tergantung pada ketebalan, kematangan, pengayaan hara dan substrat lainnya di bawah gambut, serta sumber air.
Faktor terpenting yang harus diperhatikan adalah pengelolaan air, bagaimana menjaga permukaan air tanah tidak terlalu dalam atau tidak terlalu dangkal (tergenang).
Drainase terlalu dalam (overdrained) menyebabkan kekeringan, kebakaran atau amblesan (subsidence).
Tanah gambut bersifat kering tak-balik (irreversible), artinya jika tanah gambut mengalami kekeringan, maka tanah tersebut sulit diperbaiki dan dikembalikan seperti kondisi semula (Hikmatullah dan Suryani, 2012).
Akan jauh lebih mudah mengembangkan pertanian di tanah entisols dan inceptisols yang mengandung endapan aluvial.
Entisols adalah tanah-tanah yang belum mempunyai perkembangan struktur atau tanah tergolong masih muda.
Entisols tersusun dari bahan endapan aluvium sungai atau dari bahan abu pasir volkan berpotensi tinggi untuk pertanian, karena tanah cukup subur.
Demikian pula tanah entisols yang terbentuk dari endapan fluvio-marin yang mengandung bahan sulfida masih cukup berpotensi untuk padi sawah, apabila dikelola dengan tepat terutama pengaturan kedalaman muka air tanahnya.
Inceptisols adalah tanah-tanah yang mempunyai perkembangan struktur yang dicirikan oleh bentukan struktur cukup baik dan horison kambik.
Di dataran Aluvial dan Fluvio-marin, tanah inceptisols yang berdrainase terhambat sesuai untuk padi sawah.
Namun, berdasarkan data Pemerintahan Provinsi Kalimantan Tengah, ternyata jenis tanah gambut (organosol), mencapai 2,5 juta Ha, lebih mendominasi kawasan di sana ketimbang tanah aluvial, yang hanya 1,4 juta Ha.
Lumbung Pangan Seharusnya dibangun di Pulau Sulawesi
Berdasarkan penelitian dari Badan Litbang Pertanian, secara biofisik Pulau Sulawesi memiliki lahan aluvial basah berlereng < 3 persen seluas 2,3 juta Ha yang cocok untuk pengembangan padi sawah.
Selain itu, secara biofisik Pulau Sulawesi juga memiliki lahan kering berlereng 3-15 persen seluas 1,98 juta Ha untuk pengembangan jagung dan kedelai.
Menurut perhitungan peneliti, untuk jagung dan kedelai, bila seluruh potensi lahan kering di Sulawesi dimanfaatkan akan menghasilkan produksi 4 juta ton jagung pipil (saat ini pulau Sulawesi hanya memproduksi 2 juta ton jagung) dan 1,33 juta ton kedelai (saat ini Sulawesi hanya mampu memproduksi 20 ribu ton kedelai).
Perlu diketahui total produksi kedelai nasional hanya 355 ribu ton, sementara konsumsi nasional mencapai 2,7 juta ton. Artinya Sulawesi berpotensi memenuhi 50 persen kebutuhan kedelai nasional.
Kembali ke masalah pertanian sawah dan produksi padi. Lahan potensial untuk pertanian umumnya berada pada landform dataran aluvial, jalur aliran sungai, dan dataran antar perbukitan, yang tanahnya berkembang dari endapan alluvium.
Landform Aluvial paling luas terdapat di Sulawesi Selatan, kemudian disusul Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara.
Keempat provinsi tersebut memang merupakan provinsi-provinsi utama penghasil padi.
Sekitar 94 persen dari total produksi padi di Sulawesi dihasilkan keempat provinsi.
Rasio produktivitas pertanian Sulawesi berada di kisaran 4,77 ton per hektar. Berdasarkan SNI
IndoGAP 8969: 2021, komoditas padi di Desa Alatengae, Maros, pada lokasi 65 Ha terjadi peningkatan produktivitas dari awalnya 6,2 ton per hektar menjadi 8,8 ton per hektar.
Bila standar SNI IndoGAP 8969:2021 ini dapat diduplikasi, diamplifikasi ke wilayah-wilayah lainnya maka akan terjadi lonjakan produktivitas padi di Sulawesi seperti dalam Tabel 3 Peningkatan Produktivitas dengan Mengembangkan 685 ribu Ha berdasarkan dua skenario produktivitas.
Skenario 1: Dalam keadaan produktivitas 4,77 ton per hektar, dengan mengalikannya dengan selisih potensi lahan 685 ribu Ha, akan diperoleh peningkatan produksi padi tambahan sebesar 3,37 juta hektar.
Skenario 2: Dalam Keadaan Produktivitas SNI IndoGAP 8969 Maros (8 ton/Ha) dijadikan rata-rata Sulawesi.
Jaga Rasio Harga Gabah/Pupuk Menguntungkan
Sektor pertanian adalah sektor tertua dalam peradaban manusia, usianya sudah puluhan ribu tahun.
Maka keberadaannya harus selalu kita lindungi. Bukan dengan dibenturkan terus menerus dengan liberalisme sektor pertanian.
Negara-negara yang hebat adalah negara yang melindungi sektor pertaniannya. Mensejahterakannya, bukan malah mengkerdilkannya.
Meskipun terjadi kenaikan harga gabah yang signifikan di level petani, namun keuntungan ini sudah tergerus oleh kenaikan biaya-biaya lainnya seperti pupuk.
Pupuk subsidi menjadi langka, yang tersedia hanya pupuk non subsidi di pasaran.
Ketidakmampuan pemerintah menjamin seluruh petani mendapatkan haknya atas pupuk murah telah menyebabkan tergerusnya pendapatan mereka yang kurang beruntung.
Padahal rasio dari harga gabah terhadap harga pupuk idealnya di atas 1,5 kalau bisa 2 kali lipat. Era Orde Baru menerapkan rasio ini atas saran ekonom Amerika Serikat yang membantu membangun pertanian Orde Baru.
Petani bahagia, maka produksi pun meningkat sampai pernah ada masanya Indonesia mengalami swasembada beras.
Ada harapan hidup sebagai petani beras, karena rasio dijaga 1,5 oleh Orde baru. Artinya akan ada margin yang cukup di ekonomi petani bila rasio tersebut diterapkan kembali.
Sementara dapat dilihat sendiri di Tabel 4, rasio yang menggambarkan kondisi petani sekarang masih jauh dari ideal.
Ini berarti windfall harga beras dan gabah belakangan ini belum cukup untuk membuat petani kita untung.
Bila dihajar oleh harga pupuk non subsidi, ternyata keuntungan masih belum seberapa.
Jadi dalam kondisi kelangkaan beras dewasa ini, tidak ada yang diuntungkan.
Maka, hal yang dapat dikerjakan pemerintah adalah memastikan pembangunan proyek Masela dipercepat.
Dengan terbangunnya kompleks petrokimia di Masela, maka supplai pupuk bersubsidi akan semakin terjamin.
Salah satu terobosan Orde Baru dalam ketahanan pangannya juga adalah pembangunan kompleks-kompleks petrokimia di Gresik, Cikampek, dan Palembang.
Dengan memiliki kekayaan gas sendiri (tidak perlu impor) yang melimpah di Masela dan blok-blok lainnya, seharusnya penyediaan pupuk subsidi yang lebih massif di masa mendatang menjadi sangat mungkin.
Oleh: Gede Sandra, Pengamat Ekonomi